PDM Kota Pariaman - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Pariaman
.: Home > Artikel

Homepage

Buya Oedin, Perintis Muhammadiyah, Teman Sekaliber Buya Hamka di Kuraitaji Pariaman

.: Home > Artikel > PDM
15 Desember 2015 20:51 WIB
Dibaca: 1783
Penulis :

 

 
Tidak ada seorangpun diantara keluarga berfirasat, bahwa Buya Oedin akan menjadi salah seorang
perintis dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. SK Menteri Sosial No. Pol. 003/07.P.K.
Djakarta 15 Agustus 1967, menetapkannya sebagai Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan,
sejajar dengan HR Rasuna Said, Chatib Suleiman, HAMKA dan pejuang lainnya dari Minangkabau. 
Oedin salah seorang anak Kuraitaji yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan
akhirnya dapat menjadi Bupati, kata Buya Hamka.
 
 
Keterangan gambar: (kiri) Buya Oedin. (kanan) Buya Oedin (berkacamata, di belakang Presiden Soekarno) ketika menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Jakarta dimasa pemerintahan Presiden Soekarno.
 
 
Buya Oedin (Udiang, dalam lafal orang Minang) lahir pada bulan Agustus 1907. Ibunya, Raalin, adalah seorang pengurus Aisyiyah yang tangguh di Kuraitaji. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Masa remaja Buya Oedin dihabiskan di Kuraitaji, dekat Pariaman. Sebagaimana remaja-remaja umumnya, Buya Oedin termasuk remaja yang bagak dan nakal. Tapi berkat didikan Buya AR Sutan Mansur, membuat kepribadian Buya Oedin terasah dan terarah. Bakat kepemimpinan beliau semakin nampak karena kakek Buya Oedin sendiri bekas seorang Upalo Uban, kepala kampung. 
 
Buya Oedin menikah pertama dengan Mayang Sani, dikaruniai seorang puteri bernama Nur’ani. Perkawinan ini tidak berumur panjang. Kehidupan sulit senantiasa dijalani Buya Oedin. Ketika tinggal di Jambi, dalam rangka memperbaiki kehidupan, beliau bekerja membantu ibunya berjualan nasi. Beliau pernah pula bekerja pada orang Menggali (India) yang membawa kapal dagang antar pulau yang mengantarkannya menjejakkan kaki di Singapura. 
 
Ketika tinggal di Jambi itu, Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau melamar agar Kongres Muhammadiyah XIX tahun 1930 diadakan di Minangkabau. Lamaran disetujui oleh Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta. Buya Oedin yang saat itu menduda, dipanggil pulang dan ikut berperan aktif dalam kepanitiaan Kongres Muhammadiyah yang kemudian diselenggarakan di kota Bukittinggi. Pasca Kongres Bukittinggi diselenggarakan Konferensi Muhammadiyah ke-5 di Payakumbuh, tanggal 13-16 Juni 1930. Hasil dari Konferensi tersebut, adalah dibubarkannya Persatuan Muhammadiyah Daerah Minangkabau dan menetapkan pengurus baru Muhammadiyah Sumatera Tengah dengan struktur: Konsul, Buya AR St Mansur. Sekretaris Abdullah Kamil, Wakil Sekretaris merangkap Bendahara RT Dt. Sinaro Panjang, dan para anggota SY Sutan Mangkuto, Oedin, Ya’coeb Rasyid dan Marzuki Yatim. 
 
Buya Oedin bersama-sama H. Sd M. Ilyas, H.M. Noer, H. Haroun L. Ma’any, M. Luthan memelopori berdirinya Muhammadiyah di Kuraitaji pada 25 Oktober 1929. Ini adalah cabang Muhammadiyah ketiga di Sumatera Tengah setelah Bukittinggi dan Padangpanjang. Masuknya Muhammadiyah ke Kuraitaji dibawa langsung oleh H. Sd. M. Ilyas, putera daerah Kuraitaji, yang sebelumnya pergi ke Yogyakarta untuk mempelajari Muhammadiyah. Beliau adalah adik ipar Buya Oedin. H Sd M Ilyas kemudian menjadi bapak mertua Dr. H. Tarmizi Taher, seorang Menteri Agama. 
 
Kesibukan Buya Oedin semakin bertambah. Beliau pergi ke daerah-daerah untuk mendirikan Muhammadiyah. Bersama M. Luth Hasan, beliau membimbing Syarah Jamil dan kawan-kawan untuk mendirikan Muhammadiyah di Pakandangan Koto Tinggi. Di Sei Sarik Malai berdirinya Muhammadiyah agak unik. Pada suatu hari di tahun 1935 telah ada kata sepakat antara para anggota Muhammadiyah di sana untuk mendirikan Ranting Muhammadiyah. Dari Pimpinan Cabang Kuraitaji akan datang meresmikan adalah Buya Oedin dan Muhammad Luth Hasan. Rupanya kedatangan mereka sudah dinanti-nanti oleh para ninik mamak negari Malai V Suku di Sei Sarik Malai. Para ninik mamak secara tegas menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak boleh didirikan di negari Sei Sarik Malai. Menanggapi hal ini, Buya Oedin dengan tenang berkata, ”Kalaulah engku ninik mamak di sini telah menentukan Muhammadiyah tak boleh didirikan di sini, apa boleh buat. Kami tentunya menghargai pendirian ninik mamak itu”.
 
Para ninik mamak masih curiga, ketika Buya Oedin menginap di situ ditungguilah sampai malam hari sehingga lampu dimatikan dan orang bersiap tidur. Namun, ketika para ninik mamak itu pulang, dilangsungkanlah musyawarah secara gelap-gelapan di rumah seorang anggota Muhammadiyah bernama abang Bisu. Musyawarah usai dengan kata sepakat, Buya Oedin mengetuk lantai kayu rumah panggung itu seolah mengetokkan palu ke meja. Muhammadiyah resmi didirikan di negari Sei Sarik Malai. Keesokan paginya papan nama Muhammadiyah Sei Sarik dipasang di rumah tersebut.
 
Ketika Buya Oedin memimpin Panti Asuhan Muhammadiyah Kuraitaji, beliau menikah dengan Rafiah Jaafar. Dari pernikahan mereka kelak lahir putri dan putra beliau yakni Saadah, Safinah, Fakhrudin, Asdie, Hizbullah, Hasnah dan Sumarman Oedin. Awal kehidupan rumah tangga yang sulit dilalui dengan ketegaran dan kekuatan iman. Setahun lebih suasana prihatin dilalui karena saat itu Buya Oedin memang tidak bekerja, maklum sekolah cuma sampai kelas 2 SR. Tahun berikutnya, mengerjakan sawah milik seorang anggota Muhammadiyah. Dari hasil menerima upah mengerjakan sawah inilah kehidupan agak lumayan. Istrinya pun turun tangan membantu Buya Oedin turun ke sawah. Pekerjaan turun ke sawah ini tidak lama dijalani, setelah kepergian putra pertama beliau, Mansoerdin yang berumur tak sampai 24 jam beliau seolah kehilangan tajak. Kehidupan keluarga Buya Oedin selanjutnya adalah hasil ringan tangan para pimpinan Muhammadiyah. Buya fokus hanya mengurus Muhammadiyah sementara putra-putri kehidupan terus hadir. Kehidupan pahit tapi ditopang keyakinan bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan membantu hamba yang menolong agama-Nya telah mendarah daging di hati Buya Oedin. 
 
Dari sebuah dokumen, diketahui bahwa pada tahun 1937 Buya Oedin diangkat menjadi Ketua II Pimpinan Cabang Muhammadiyah Padangpanjang sebagai hasil keputusan Konferensi Wilayah ke-4 di Solok. Dari catatan dan dokumen resmi yang lain, diketahui bahwa nampaknya pengurus Muhammadiyah masa itu tidak mempunyai penghasilan tetap, karena itu biaya kehidupan rumah tangga mereka ditanggung oleh persyarikatan. Dengan demikian, semua pengurus mempunyai banyak kesempatan untuk menjalankan roda persyarikatan. 
 
Ketika masa pendudukan Jepang di Indonesia, hubungan antara Jawa dengan Sumatera terputus. Dibawah pimpinan Buya AR. St Mansur yang ditetapkan oleh HB Muhammadiyah Yogyakarta memikul tanggung jawab untuk seluruh Sumatera, konsul Muhammadiyah di Padangpanjang, setiap tahunnya pada bulan Ramadhan menyelenggarakan Algemene Kennis Muhammadiyah, yakni semacam pelatihan pengkaderan kepemimpinan bagi anggota Muhammadiyah termasuk AMM. Pelatihan ini berlangsung penuh selama 15 hari, siang-malam.
 
Ada yang unik juga pada Buya Oedin ketika tentara pendudukan Jepang datang. Sebagai tokoh masyarakat Islam beliau dianggap bisa memberikan nasehat bagi tentara Jepang. Taktik strategi Jepang saat itu adalah mengangkat para tokoh agama Islam untuk membantu kepentingan Jepang. Kepada beliau diberikan sebuah surat bertuliskan huruf Jepang yang beliau sendiri tidak tahu apa itu isinya. Ketika suatu kali bala tentara Jepang datang ke tempat beliau tinggal, mereka berlaku tidak sopan di sebuah masjid, hal itu diingatkan oleh Buya Oedin. Komandan tentara Jepang tidak terima dan marah-marah sambil berlaku kasar hampir menembak. Buya Oedin menunjukkan surat bertulis huruf Jepang, melihat isi surat itu, komandan tentara Jepang itu gemetar ketakutan dan meminta maaf. Belakangan diketahui bahwa surat itu adalah sebuah keterangan bahwa beliau diangkat sebagai penasehat bagi tentara Jepang. 
 
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Buya Oedin aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu itu Buya Oedin menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhamadiyah Minangkabau, beliau giat memberi pengertian kepada warga masyarakat Pariaman dan sekitarnya tentang bagaimana cara mengisi kemerdekaan. Pada bulan November 1945 Buya Oedin dan rekan-rekan menghadiri Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta. Kongres bertujuan untuk menyatukan perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di dalam perjalanan mereka mendapat banyak rintangan dari pasukan Belanda. Ketika di Yogyakarta itulah Buya Oedin berhubungan dengan Soedirman yang waktu itu mewakili Pemuda Muhammadiyah Purwokerto. Sekembalinya ke Sumatra, Buya Oedin dan kawan-kawan kemudian aktif menyampaikan hasil Kongres. 
 
Pada bulan Mei 1946 beliau dilantik oleh Residen Sumatera Barat, Dr. Jamil, menjadi Ketua Dewan Polisi Sumatera Barat. Bulan Januari 1947 beliau diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Padangpariaman. Tahun itu juga beliau mengikuti persidangan KNIP di Malang (1947). Sepulang dari Malang, ketika singgah di Yogyakarta Buya Oedin bertemu lagi dengan Soedirman yang sudah menjadi Panglima Besar TNI. Sebagai anggota KNIP, beliau ditugaskan oleh Panglima Soedirman untuk mendampingi Mayjen Soeharjo dalam tugas-tugas kemasyarakatan. Kelak di suatu hari di Jakarta, Oedin bertemu secara tak sengaja di jalan dengan Jenderal Soedirman, yang kemudian mengajak sahabat lamanya itu mampir ke rumahnya.
 
Sampai tahun 1949, di Sumatera Barat Oedin terlibat aktif dalam berbagai aktivitas politik dalam rangka kedaulatan Indonesia dari rongrongan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Pasca aksi polisionil Belanda yang gagal itu, aktifitas Oedin dalam kancah pemerintahan Sumatera Tengah antara lain sebagai berikut. Beliau menjadi pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian menjadi patih yang diperbantukan pada Bupati Padangpariaman (Januari 1950), menjadi patih di Kabupaten Tanah Datar (Oktober 1950), menjadi Walikota Sawahlunto (Mei 1950), menjadi Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; Pjs. Bupati Tanah Datar (Desember 1953); dan terakhir menjadi Bupati Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954).
 
Tentang Buya Oedin, Buya HAMKA yang menjadi sahabatnya ketika masa muda menyatakan dalam surat beliau kepada anak Buya Oedin, Asdi Oedin, “…dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih hebat dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko (ambil muka), tetapi penilaian secara jujur, sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak seorang doktor dan ipar seorang konsul (Buya AR St. Mansur), jadi masih ada dasar, padahal Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya, diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres”, kata Buya HAMKA mengenai sahabat masa kecilnya itu.
 
Buya Oedin wafat di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1984, beliau dimakamkan di Perkuburan Tanah Kusir Jakarta.** (imr-adm)
 
 
sumber tulisan: 100 Tokoh Muhammadiyah Yang Menginspirasi, MPI PP Muhammadiyah, 2014. 
 
 
 
===========================================
 
Surat Buya HAMKA untuk Asdi Udin, putra ke-5 Buya Oedin, yang menggambarkan tentang siapa Buya Oedin itu:
(sumber: akamingga.blogspot.com/2011/01/oedin-dan-muhammadiyah.html)
 
 
===========================================

Buya HAMKA 

Kebayoran Baru, 8 Shafar 1382 H/11 Juli 1962

----------------------------------------------------------------------------

 


Ananda sayang Asdi Udin

SMA Negeri Pariaman,


Sudah agak lama surat ananda Buya terima, baru sekarang dapat membalasnya. Ingin segera Buya membalas, tetapi maafkanlah Buya, Buya sibuk benar, mana mengarang, mana membaca, mentelaah, manapula mengaji dan mengaji. Besar hati Buya mendengar kemajuan anada dalam belajar agar nasib kalian anak-anak kami jauh lebih baik dari pada kami,Buya-Buya kalian.
Buyamu itu, Angku Udin menurut istilah orang Pariaman ialah “Sikanduang Buya”, sesakit sesenang, sehina semalu, seperasaan sepemandangan, satu pandangan hidup (way of life). Meskipun hubungan surat menyurat diantara kami amat jarang, namun hubungan bathin tidak pernah putus. Belum lahir kalian ke dunia kami sudah berdunsanak dengan dia ialah tahun 1929. Ketika Buya datang melantik Muhammadiyah Kuraitaji bertempat di pasar Pariaman. Modal kamipun sama yaitu:

 

Tarahok tali alang-alang/Cabiak karate tantang bingkai/Hiduik nan jangan mangapalang/Tak kayo barani pakai…

 

Khabaraja konon sakatik. Buya si Adie itu masuk hutan, kalau dia bacakap, mahota dengan kawan-kawan yang lain, seumpama dengan sdr. Syarif Usman, selalu Buya ini menjadi buah mulut mereka. Kami kalau sudah duduk bertiga tiga, yaitu Buya Udin, Buya ZAS, Buya HAMKA, kami selalu bernyanyi, berlagu Pariaman, berlagu Baruh (Serantih), dan pernah kami menangis tersedu-sedu di pengaruhi keindahan alam di Padang Panjang, karena kami melihat panas pagi pukul 09 dari halaman sekolah Muhammadiyah Guguk Malintang, menengadah ke arah Bukit Tui.

 

Buyamu itu dahulu agak pereman, Buya ZAS tidak manantu pelajarannya di Thawalib, dan Buya Hamka sendiripun sekolah tidak tammat. Tetapi kami mendapat didikan dari guru kami, Buya AR St, Mansur. Beliaulah yang menimbulkan dan membuntangkan naik kepribadian kami, sehingga kami layak menjadi pemimpin kemajuan ummat di Minang dengn perantaraan Muhammadiyah. Niscaya kalian sekarang mendapati hal yang lebih baik dari pada kami. Sebab kalian sudah sekolah, sekolahmu sendiri di SMA kalau di zaman dahulu sama dengan HBS atau AMS. Maka hendaklah kalian lebih berbahagia dari kami dan lebih maju dari kami.Sedangkan kami yang hanya dengan modal keberanian lagi sanggup, apatah lagi kalian dengan modal ilmu pengetahuan yang cukup.

 

Dan kalau ditimbang-timbang lagi diantara kami, Buya Udin jauh lebih HEBAT dari Buya HAMKA. Ini bukan ambia muko (ambil muka), tetapi penilaian secara jujur, Sebab Buya HAMKA buliah juo lai. Buya HAMKA anak Dr (Doktor) dan ipar konsul (AR St. Mansur), jadi masih ada dasar. Padahal, Buya Udin modalnya hanyalah dirinya sendiri, akhirnya dapat dicapainya pangkat Bupati klas I dan bersahabat dengan orang besar-besar, didengar orang bicaranya, diminta orang pertimbangannya, dan suatu hal yang kusut, betapapun kusutnya, kalau Buya Udin campur tangan, sebentar saja beres.

 

Di tahun 1957 (sebelum bergolak) beliau ada datang ke Jakarta, berbuka puasa di rumah Buya di Kebayoran, ketika itu rambutnya sudah banyak yang putih. Bagaimana sekarang, Buya belum tahu. Tetapi sudah terang sebagai Buya HAMKA juga, sudah sama-sama mulai patut disebut tua, walaupun kami belum mau menyerah.

 

Bagaimana Ummi kalian, bagaimana adik adik Asdi, bagamana keadaan kampong. Berilah Buya khabar. Sudah bolehlah pemuda-pemuda aktif bergerak seumpama dalam PII atau Pemuda Muhammadiyah?

 

Pertanyaan yang ananda kemukakan untuk Gema Islam, ada diperlihatkan oleh Redaksi kepada Buya. Ah, terlalu tinggi, mengenai jiwa ke jiwa saja. Payah orang menjawabnya barangkali.
Salam Buya buat Buya Udin itu. Tentu beliau tetap di Kuraitaji, di kampung. Barangkali Asdi pulang sekolah, terus kembali ke Kuraitaji, bukan?


Salam Buya;

HAMKA

 

===============================

 

Muhammadiyah Kurai Taji Pariaman

 
Oleh Fikrul Hanif

Sudah lama rasanya tidak menulis tentang kampung halaman saya. Saat ini saya akan mengajak facebooker untuk mengikuti kisah seorang aktivis Muhammadiyah asal Kurai Taji yang pernah menjadi Regent di Indragiri.

Sebagai salah satu "balahan" dari keluarga besar pendiri Muhammadiyah Kurai Taji Pariaman, saya akan mencoba menulis secara lugas tentang sisi historis Boeya Oedin. Tulisan ini saya simpulkan dari Manuskrip yang ditulis Kasim Munafi (adik kakek saya Buya Sulaiman Munaf, Direktur Madrasah Muhammadiyah Kurai Taji yang didirikan tahun 1931) yang berjudul "Muhammadiyah yang Aku Kenal, Manuskrip, 1985)

Buya Oedin atau yang akrab dipanggil di Kurai Taji dengan sebutan Boeya Udiang (atau Udiang menurut pelafalan orang kampungnya) lahir tahun 1906. Di kalangan aktivis Muhammadiyah Kurai Taji, Boeya Oedin lebih dikenal sebagai sosok politisi ketimbang sebagai seorang ulama atau pun pendidik.

Meskipun ia hanya berpendidikan kelas 2 Sekolah Rakyat, Oedin yang juga kader dari AR Sutan Mansur tersebut pernah ikut merintis berdirinya Muhammadiyah Ranting Kurai Taji (bagian dari Cabang Muhammadiyah Padang Panjang) tanggal 25 Oktober 1929, pimpinan redaksi Majalah Bahtera Massa yang diterbitkan dua edisi oleh Muhammadiyah ranting Kurai Taji. Namun karena Bahtera Massa dianggap isinya provokatif, maka majalah yang berusia seumur jagung tersebut dibredel dan dibakar Belanda.

Melalui tangannya, menurut Moh. Natsir, Masyumi berkembang di Sumatera Barat. Kisah ini berawal dari partisipasinya pada acara silaturrahmi Muhammadiyah yang dilaksanakan tahun 1946. Dalam acara tersebut Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan kepada peserta bahwa telah berdiri partai politik Islam Masyumi sebagai representasi suara ummat Islam di Indonesia. Sejak saat itu, Oedin berinisiatif menyebarluaskan berita ini ke Sumatera Barat.

Bahkan saat terjadinya kisruh antara Masyumi (label Muhammadiyah) dan Masyumi (label MIT), Buya Hamka dan Oedin turut turun ke daerah-daerah untuk menenangkan massa dan menjaga keutuhan dari Masyumi.

Pasca kemerdekaan, kariernya pun semakin melejit. Pada Januari 1950, ia diangkat sebagai pegawai tinggi tingkat 2 dan kemudian patih yang diperbantukan pada Bupati Padang Pariaman; Oktober 1950 sebagai patih Kabupaten Tanah Datar; Mei 1950 sebagai Walikota Sawahlunto; Oktober 1952 sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri (Oktober 1952; dan terakhir sebagai Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (Oktober 1954).

Referensi:
Kasim Munafy, "Muhammadiyah yang Aku Kenal", Manuskrip. (Kuari Taji: Sejarah Kehidupan Pribadiku, 1985)
Fikrul Hanif Sufyan, "Muhammadiyah Daerah Padang Pariaman", Skripsi. (Padang: Universitas Andalas, 2003)
Suryadi Sunuri, Blog Minang Saisuak, dengan judul "Buya Oedin: Teman Jenderal Sudirman dari Kuraitaji"
Retrieved from: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2372826776364&set=a.1403610626566.40461.1721389076&type=1&relevant_count=1
 
 

Tags: BuyaOedin , MuhammadiyahSumateraBarat
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Tokoh Muhammadiyah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website